Oleh Terdakwa Dahlan Iskan
Yang Mulia majelis hakim.
Yang Terhormat saudara jaksa penuntut umum
Yang Terhormat para hadirin pengunjung sidang
Sejak jaksa membacakan tuntutannya enam hari yang lalu, saya fokus pada upaya membebaskan batin saya dari pertanyaan ini: siapa yang lebih dulu kenal Sam Santoso. Saya ataukah saudara Wisnu Wardana? Sam Santoso dalam kesaksian tertulis di bawah sumpah mengatakan sayalah yang memperkenalkan Wisnu Wardana padanya. Sedang saudara Wisnu dalam kesaksiannya membantah bahwa dialah yang memperkenalkan Sam Santoso kepada saya dalam satu makan siang di hotel Mirama Surabaya.
Memang saksi Oepojo menjelaskan Sam sudah lama kenal Wisnu Wardana bahkan Sam pemah membantu memperbaiki kiln pabrik keramik Tulungagung saat Wisnu Wardana menjadi direktur di sana. Berarti Sam sudah lebih dulu kenal dengan Wisnu.
Saya terus menelusuri kesaksian Uepojo itu. Lima hari terakhir ini saya mencari dan mencari dan mencari siapa saja yang bisa memberikan penguatan pada kesaksian Oepojo tersebut. Pencarian ulang tidak mudah. Banyak pimpinan Perusda Jatim Sarana Bangunan waktu itu yang sudah meninggal. Tapi Allah Maha Besar. Rabu kemarin salah seorang mantan pimpinan Perusda tersebut ke rumah saya. Beliau menjelaskan bahwa sebelum ada PT PWU, semasa saudara Wisnu Wardana menjadi pimpinan pabrik keramik Tulungagung, pabrik keramik Tulungagung membeli mesin-mesin keramik bekas yang dicat baru dari pcmsahaan milik Sam Santoso. Dia tahu karena bersama Wisnu Wardana berkunjung ke perusahaan milik Sam Santoso tersebut melihat mesinnya. Saya pun kian merenung: mungkinkah pabrik keramik Tulungagung tidak bisa diperbaiki juga karena mesin-mesinnya yang baru dibeli ternyata mesin bekas?
Yang saya sedih, Yang Mulia, ketika fakta baru ini saya konsultasikan, penasehat hukum saya mengatakan sistem hukum kita tidak bisa lagi menerima saksi baru saat proses persidangan sudah sampai pada tuntutan. Saya tentu tidak ingin merusak sistem hukum tersebut namun fakta ini perlu saya sampaikan untuk setidaknya bisa membebaskan batin saya.
Selanjutnya ijinkan saya membacakan pledoi saya yang saya beri judul:
TUNTUTAN BUI UNTUK PENGABDI
Sebuah Pledoi untuk dan dari Dahlan Iskan
Jaksa telah mendakwa saya melakukan penjualan aset Pemda/PT PWU Jatim di Kediri dan Tulungagung tanpa persetujuan DPRD. Sayang, jaksa hanya mengajukan satu orang saksi dari DPRD Jatim. Itu pun tidak ada hubungannya dengan peristiwa di tahun 2003 itu. Saksi baru menjabat sekretaris DPRD Jatim tahun 2014. Alias baru 10 tahun kemudian. Tidak tahu sendiri, tidak melihat sendiri dan tidak mendengar sendiri. Padahal masih banyak saksi yang hidup yang mestinya bisa dimintai keterangan. Jaksa menganggap semua anggota DPRD Jatim seolah sudah meninggal semua hanya karena kejadian yang diperkarakan ini sudah 14 tahun yang lalu.
Dengan mudah penasihat hukum bisa menghadirkan dua saksi mantan tokoh DPRD Jatim. Keduanya menjalani sendiri proses pembahasan penjualan aset tersebut di DPRD Jatim. Saksi Pak Dadoes Sumarwanto adalah ketua komisi C, komisi yang ditugasi membidangi perekonomian termasuk membidangi perusahaan daerah. Saksi Ir Farid Alfauzi yang sekarang anggota DPR RI adalah anggota komisi C yang juga sekaligus ketua fraksi di DPRD Jatim.
Kedua saksi menjelaskan bahwa penjualan aset tersebut sudah dibahas secara mendalam di DPRD Jatim. Pembahasannya sampai enam bulan. Bukan saja di tingkat Komisi C bahkan dilanjutkan di tingkat pimpinan DPRD yang di dalamnya melibatkan semua pimpinan fraksi dan pimpinan kelengkapan DPRD. Bahkan DPRD juga mengirim delegasi ke Kementerian Dalam Negeri untuk mengkonsultasikannya. Hasil rapat di DPRD jelas minta PT PWU dalam melakukan penjualan aset tersebut tidak memerlukan izin DPRD, karena aset tersebut termasuk dalam aset PT PWU yang proses penjualannya diminta berpegang pada UU No 1/l995 (UUPT).
Sebenarnya direksi sudah ekstra hati-hati dengan mengirim surat ke DPRD Jatim untuk minta penegasan proses penjualan aset PT PWU tersebut. Mestinya direksi tidak perlu berkirim surat itu. Cukuplah taat pada perintah RUPS sebagai lembaga tertinggi di sebuah Perseroan Terbatas. RUPS yang mestinya dihukum mengapa memerintahkan penjualan aset tersebut. Kalau toh harus minta izin DPRD seharusnya pemegang saham/RUPS yang minta izin sebelum memerintahkan dalam bentuk putusan RUPS. Namun karena direksi ingin kejelasan yang sejelas-jelasnya maka surat ke DPRD tersebut dikirim. Sayang kenyataan yang sudah cetho welo-welo ini diabaikan dalam dakwaan dan tuntutan jaksa.
2. Jaksa juga mendakwa saya mempunyai niat untuk melakukan korupsi dalam penjualan aset tersebut. Sebuah dakwaan yang sangat kejam. Kalau memang saya punya niat itu cukuplah saya berpegang pada hasil RUPS dan cepat-cepatlah penjualan aset dilakukan. Bisa dilakukan dua tahun lebih cepat. Tapi saya ekstra hati-hati dalam proses ini. Pun seandainya hasil pembahasan di DPRD Jatim menyatakan direksi harus tunduk pada Perda No 5/1999 maka direksi tidak akan melakukan penjualan aset tersebut.
Bahkan saya sendiri tidak akan mau terus menjabat Dirut P'l` PWU karena saya bukan orang yang cari jabatan atau orang yang cari penghidupan di sana. Saya waktu itu bersedia diminta menjadi Dirut PT PWU Jatim murni dengan niat melakukan pengabdian. Mengabdi untuk Jawa Timur, tcmpat lahir saya dan tempat saya mencari Rahmat Ilahi. Saya juga ingin membuktikan bahwa perusahaan daerah pun bisa maju dan bersaing dengan swasta. Saya yakin perusahaan daerah tidak hanrs terus-menerus menggerogoti anggaran daerah.
Untuk membuktikan kemumian pengabdian tersebut saya enteng saja memberikan uang pribadi saya Rp 5 miliar untuk dipakai dulu memulai program pembangunan gedung Jatim Expo yang megah itu. Demikian juga untuk pembangunan pabrik karet. Saya jaminkan personal guarantee saya. Agar bank mau memberi kredit Rp 40 miliar untuk membangun pabrik baru steel conveyor belt termodern di lndonesia. Saya sadar resikonya. Harta saya akan disita kalau pabrik itu tidak bisa membayar kembali kredit Rp 40 miliar tersebut. Nilai Rp 40 miliar, l3 tahun yang lalu sangat berharga.
Waktu itu. saya memang harus menyelamatkan pabrik karet Ngagel dari kebangkrutan. Karyawannya begitu banyak. Kondisi pabriknya begitu reot dan terlantar. Mesin-mesinnya tua-renta peninggalan zaman Belanda. Saya menilai pabrik ini sudah tidak bisa diperbaiki. Harus dibangun pabrik baru. Tapi apa daya. Tidak ada uang. Tidak ada modal. Cari pinjaman bank juga
tidak dipercaya. Tidak ada bank yang mau. Akhirnya BNI 46 mau asal saya pribadi yang menjadi penjaminnya. BNI 46 percaya saya karena saya baru saja menyelamatkan kredit macet BNI 46 di Palu Sulteng dan di Manado. Dengan cara saya mengambil alih kredit macet itu dan melunasinya.
Saya terpaksa menceritakan semua itu bukan untuk membanggakan diri tapi untuk memberikan keyakinan apakah dakwaan jaksa bahwa punya niat korupsi itu bukan suatu yang dicari-cari. Dengan dakwaan yang kejam itu pengadian murni seorang manusia seperti dicampakkan begitu saja. Namun saya masih bisa terhibur: pabrik steel conveyor belt itu bisa menjadi pabrik yang membanggakan dan bisa memperkuat perekonomian nasional dengan cara mengurangi ketergantungan lndonesia akan impor steel conveyor belt.
Kemurnian pengabdian saya seperti itu sudah saya tunjukkan sejak awal. Saya tidak dan tidak mau menerima gaji, tidak menerima tunjangan, tidak menerima fasilitas apa pun selama 10 tahun menjadi Dirut PT PWU. Bahkan biaya-biaya perjalanan dinas baik di dalam maupun ke luar negeri selama 10 tahun itu saya bayar sendiri dari uang pribadi.
Suatu saat ketika perusahaan sudah laba miliaran rupiah diam-diam direksi mengirimkan uang tantiem ke rekening saya. Saya langsung panggil direksi tersebut. "Saya dimarahi habis," kata saksi. Saya memang marah saat itu. Mengapa saya dikirimi uang. Sebenamya saya sudah lupa peristiwa ini. Namun karena beberapa saksi menceritakannya di persidangan ini. saya jadi ingat. Saya minta agar uang kiriman itu ditarik lagi. Saya merasa penghasilan saya di perusahaan saya sendiri sudah lebih dari cukup untuk hidup berkecukupan saya dan keluarga karena saya punya prinsip sendiri dalam mendefinisikan kata "cukup" itu.
3. Saya juga dianggap sudah lama kenal lama dengan orang yang bernama Sam Santoso dan saya
berkolusi dengan dia. Saya tegaskan saya tidak kenal Sam Santoso sebelum diperkenalkan oleh
saudara Wisnu Wardana yang sudah menjabat ketua tim penjualan aset dalam suatu makan siang
di hotel Mirama, disela-sela makan siang saya dengan tamu saya lainya. Bahkan baru saat diperkenalkan itulah saya tahu bahwa Sam Santoso adalah pemilik pabrik keramik yang sangat besar di Sidoarjo, PT Kuda Laut Mas.
Saya memang kenal banyak sekali pengusaha Tionghoa di Surabaya. Khususnya mereka yang tergabung dalam yayasan sosial marga Tionghoa atau mereka yang aktif bersama-sama membina barongsai atau yang aktif di Yayasan Cheng Ho. Sam Santoso bukan aktivis di perkumpulan-perkumpulan tersebut.
P
Saya tidak tahu sejak kapan Wisnu Wardana kenal Sam Santoso. Di Jatim pabrik keramik itu tidak banyak. Bisa dihitung dengan jari sebelah tangan. Komunitas keramik ini kecil. Saling kenal dan saling bantu. Bisa jadi perkenalan itu terjadi saat Wisnu Wardana menjadi direktur pabrik keramik Tulungagung seperti yang secara jelas dikatakan oleh saksi Oepojo bahwa Sam mengaku pernah membantu perbaikan kiln pabrik keramik Tulungagung. Keterangan saksi ini baru bagi saya. Apalagi Oepojo juga menambahkan bahwa bantuan tersebut juga di bidang distribusi.
Kalau benar saya menginginkan penjualan aset tersebut harus jatuh atau diberikan kepada orang yang saya inginkan mengapa tidak dilakuakan oleh direksi saja? Toh UU PT membolehkan? Tapi karena direksi tidak ingin terlibat langsung dalam penjualan aset ini maka dibentuklah tim khusus. Termasuk menentukan SOP-nya. Sayang jaksa mendakwa saya melakukan kolusi dengan Sam Santoso hanya berdasar keterangan Sam Santoso yang amat jahat. Kesaksian itu diberikan dalam keadaan Sam sudah terbaring sakit karena stroke berbulan-bulan.
Karena itu saya menolak kesaksikan tertulis Sam ini. Apalagi Sam ternyata juga pembohong dengan cara menjual nama saya untuk mengincar proyek yang lain. Jaksa juga tidak bisa menghadirkan orang yang sangat kaya itu ke pengadilan sehingga saya tidak bisa menyanggahnya dengan cara menatap matanya secara langsung.
Anehnya Sam Santoso, menurut jaksa, mengaku pembelian aset itu tidak lewat tim tapi langsung nego dengan saya. Baik soal harga maupun cara pembayaran dan taktik pembuatan aktenya. Kalau begitu yang terjadi mengapa tidak langsung saja ke notaris? Dan mengapa notarisnya bukan notaris langganan saya? Toh itu juga dibenarkan oleh UU PT? Di sini Sam sangat munafik. Di satu sisi dia mengatakan nego langsung dengan saya di sisi lain dia melakukan negosiasi dengan tim seperti yang dokumennya terungkap di persidangan ini. Bahkan dialah yang menentukan siapa notarisnya.
Jaksa juga mendasarkan dakwaan kolusi itu dari keterangan Wisnu Wardana yang mengatakan sayalah yang memperkenalkan Sam kepadanya. Dan sayalah yang memberi petunjuk semua itu. Setiap langkahnya dikatakan selalu dapat petunjuk dari saya seolah saya ini pabrik petunjuk. Saya menolak keras keterangan Sam dan Wisnu Wardana itu.
Satu-satunya yang bisa saya maklumi adalah siapa pun yang dalam posisi seperti Wisnu Wardana akan lebih mengatakan "melempar bola api ke alas”. Hanya sedikit orang di dunia ini yang berwatak gentleman: menikmati uangnya dan mengakui perbuatannya.
4. Disebutkan dalam dakwaan mengapa aset Kediri tidak dihidupkan dulu baru dijual. Saya tegaskan bahwa aset PWU yang HGB-nya mati bukan hanya aset di Kediri. Banyak aset lain yang HGB-nya juga mati. Menghadapi kenyataan itu dan melihat kenyataan kesulitan keuangan di PWU saat itu. seandainya pun ada uang direksi haruslah menentukan prioritas yang mana yang harus dihidupkan lebih dulu.
Jangan dilupakan tujuan penjualan aset tersebut juga untuk dibelikan aset baru yang lebih bemilai tinggi. Maka aset Kediri yang jauh dari kota besar Surabaya yang dilepas. Bukan aset yang di Surabaya yang lebih strategis. Hasil penjualan aset itu kemudian dibelikan aset di Surabaya yang tujuannya bukan saja meningkatkan nilai aset tapi sekaligus punya nilai penyelamatan terhadap aset PWU di Surabaya yang kondisinya tercabik-cabik oleh asetnya pihak ketiga.
Strategi ini sangat berhasil karena nilai aset baru yang diselamatkan tersebut berdasar appraisal yang dilakukan PWU sekarang nilainya sudah Rp 500 miliar.
Akan hal aset berupa pabrik keramik Tulungagung sejak awal pemegang saham sudah menginginkan agar aset tersebut dilepas. Pabrik tersebut terus merugi dan keberadaannya melanggar tata ruang Pemda Tulungagung.
Namun direksi minta agar pabrik keramik Tulungagung dicoba dihidupkan dulu. Ini mengingat karyawannya yang sangat banyak, lebih 300 orang. Yang kalau pabrik ditutup harus mengeluarkan uang pesangon yang sangat besar. Bisa mencapai miliaran rupiah. PWU tidak punya uang untuk membayar pesangon tersebut.
Rencana awal kalau pabrik bisa dihidupkan dan berhasil memperoleh laba barulah laba tersebut untuk mencicil pesangon secara bertahap dan pabrik akhimya ditutup untuk dipindah ke lokasi lain yang dilewati jalur gas seperti Sidoarjo. Tapi upaya menghidupkan kembali pabrik tersebut gagal karena harga BBM naik dan naik terus. Pabrik yang sudah tua juga tidak bisa bersaing dengan pabrik keramik modern seperti milik Sam Santoso.
5. Setiap tahun PT PWU selalu menyelenggarakan RUPS. Tidak pernah absen. Di dalam RUPS itulah diputuskan apakah laporan perusahaan PT PWU pada tahun berjalan bisa diterima oleh pemegang saham. Atau ditolak. Dalam laporan perusahaan tersebut seluruh aktivitas direksi dilaporkan untuk dimintakan pengesahan. Berbeda dengan di swasta pada umumnya, di PT PWU setiap RUPS selalu didahului dengan pra-RUPS.
Pra-RUPS itu diadakan atas keinginan pemegang saham agar sebelum dibawa ke RUPS laporan perusahaan tersebut dibedah terlebih dulu di forum Pra-RUPS. Dalam forum Pra-RUPS ini, pemegang saham menugaskan biro-biro terkait di kantor gubemur/kantor Pemda Jatim. Merekalah yang membedah, mempertanyakan dan minta penjelasan direksi secara mendalam dari berbagai aspek. Karena itu biro-biro yang terlibat dalam pra-RUPS ini adalah biro perekonomian. biro hukum. biro perlengkapan dan sebagainya.
Pra-RUPS ini dilakukan berkali-kali sesuai dengan tingkat kedetilan pembedahan laporan perusahaan. Pemegang saham juga sering menurunkan inspektorat daerah untuk menyelidiki benar tidaknya laporan perusahaan tersebut sebelum dilaksanakannya sebuah RUPS. Bahkan pernah pula minta audit khusus dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) di tahun 2007.
Dengan demikian saat RUPS memutuskan sesuatu, pada dasamya keputusan tersebut sudah melalui pembahasan mendalam dalam Pra-RUPS. Termasuk apakah pada tahun tersebut direksi bisa mendapatkan aquit et de charge atau tidak. Direksi PT PWU selalu mendapatkan aquit et de charge dalam RUPS tahunan tersebut. Dengan demikian RUPS membebaskan direksi dari tanggungjawab hukum perseroan.
6. Saya hanya dua semester kuliah hukum di perguruan tinggi. Yang Mulia. Saya mohon maaf kalau bentuk pledoi saya ini kurang tepat. Intinya: mohon Yang Mulia membebaskan saya. Kalau pledoi saya ini kurang kuat, mohon pledoi yang akan disampaikan penasihat hukum saya diberi kesempatan untuk dibacakan.
Saya bersyukur bahwa proses peradilan ini sudah membuktikan bahwa tidak ada uang yang saya korup, tidak ada aliran uang ke pribadi saya dan tidak ada gratifikasi sekali pun.
Saya juga bersyukur PT PWU yang modalnya hanya inbreng senilai Rp 63 miliar kini memiliki pabrik steel conveyor belt yang modern, memiliki gedung Jatim Expo yang megah, memiliki pabrik kulit yang terkonsentrasi dan masih banyak lagi. Semua itu sangat sangat betmanfaat bagi rakyat Jatim dan lndonesia. Yang juga penting Perusahaan daerah tidak lagi menggerogoti APBD Jatim, bahkan memperkuatnya dengan cara setiap tahun PT PWU bisa menyisihkan sebagian labanya untuk disetor ke APBD Jatim, sehingga APBD bisa sepenuhnya untuk kesejahteraan rakyat.
Surabaya, 13 April 2017
Dahlan Iskan
Komentar
Posting Komentar