Marah termasuk sifat bawaan pada manusia
yang sebenarnya mengandung kemashalatan dan manfaat. Sebab, dikatakan Syaikh
Shaleh al-Fauzan hafizhahullah, orang yang tidak bisa marah, terdapat
kekurangan pada dirinya. Hanya saja, kemarahan itu harus diterapkan pada
tempatnya. Apabila melampaui batas dan rambunya, maka akan menimbulkan
bahaya[1]. sehingga akan merugikan dan
menjadi sifat tercela. Sebelum memuntahkan amarah kepada orang lain atau benda
sekalipun baiknya orang memperhatikan hadits berikut yang berisi pesan
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kepada seseorang yang meminta nasehat
dari beliau. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata, “seorang lelaki
berkata kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam: “Berilah aku nasehat.” Beliau
menjawab, “Janganlahengkau marah.” Lelaki itu mengulang-ngulang permintaannya,
(namun) Nabi (selalu)menjawab,”Janganlah engkau marah.[2]
Pesan hadits di atas sudah sangat jelas
mengenai celaan terhadap marah, sehingga kita menjauhi faktor-faktor pemicunya.
Sebab satu jawaban yang sama dilontarkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam untuk merespon satu permintaan yang diulang-ulang menjadi
petunjuk akan efek besar yang ditimbulkan oleh amarah. Oleh karena itu, dalam
beberapa hadits, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah
menghadirkan beberapa terapi nabawi untuk meredam emosi:
1. Membaca
Isti’adzah (doa mohon perlindungan) dari setan yang terlaknat. Diriwayatkan dari Sulaiman
bin Shurd radhiyallahu ‘anhu berkata, “Aku pernah duduk di samping
Nabisaat dua orang lelaki tengah saling caci. Salah seorang dari mereka telah
memerah wajahnya dan uratlehernya tegang. Beliau bersabda, “Aku benar-benar
mengetahui perkataan yang bila diucapkannya,niscaya akan lenyap apa (emosi)
yang ia alami. Andai ia mengatakan: A’udzu billahi minasy syaithanirrajim,
pastilah akan lenyap emosi yang ada padanya.” (HR.al-Bukhari no.3282,
Muslim no.2610) Hadits ini semakna dengan firman Allah azza wa jalla yang
artinya, “Dan jika setan datang menggodamu,maka berlindunglah kepada Allah.
Sesungguhnya Dia Maha Mendengar Maha Mengetahui.” (QS.al-A'raf/7:200)
2.
Mengambil air wudhu Dari Athiyyah as-Sa’di
radhiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda,“Sesungguhnya amarah itu dari setan dan setan diciptakan dari api. Api
akan padam dengan air. Apabila salahseorang dari kalian marah, hendaknya
berwudhu.
3.
Menahan diri dengan diam Dari Ibnu Abbas
radhiyallahu ‘anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda,
“Barangsiapa yang marah, hendaknya diam (dulu).” [HR.Ahmad no.2029]
4.
Merubah posisi dengan duduk atau berbaring Dari Abu Dzar dari Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Jika salah seorang dari kalian marah
saat berdiri, hendaknya ia duduk, kalau belum pergi amarahnya, hendaknya ia
berbaring.” [HR.Ahmadno.2038]
5.
Mengingat-ingat keutamaan orang yang
sanggup menahan emosi dan bahaya besar yang timbul dariluapan amarah yang akan
dijauhkan dari taufik. Dari Muadz radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “ Barangsiapa menahan amarahnya
padahal mampu meluapkannya, Allah akan memanggilnya di hadapan para makhluk
pada hari kiamat untuk memberinya pilihan bidadari yang ia inginkan.”
(HR.at-Tirmidzi no.1944)
Emosi dan perasaan akan bergolak
dikarenakan dua hal; kegembiraan yang memuncak dan musibah yang berat. Dalam
sebuah hadist Rasulullah bersabda, “sesungguhnya aku melarang dua macam ucapan
yang bodoh lagi tercela: keluhan tatkala mendapat nikmat dan umpatan tatkala mendapat
musibah”.Dan Allah berfirman,“(Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu
jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan
terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu)” (QS. Al-Hadid:
23) Maka
dari itu Rasulullah bersabda, “sesungguhnya kesabaran itu ada pada benturan
yang pertama”. Barangsiapa mampu menguasai perasaannya dalam setiap
peristiwa, baik yag memilukan dan juga menggembirakan, maka dialah orang
yang sejatinya memiliki kekukuhan iman dan keteguhan keyakinan. Karena itu
pula, ia akan memperoleh kebahagiaan dan kenikmatan dikarenakan keberhasilannya
mengalahkan nafsu. Allah swt menyebutkan bahwa manusia adalah makhluk yang
senang bergembira dan berbangga diri. Namun menurut Allah, ketika ditimpa kesusahan
manusia mudah berkeluh kesah, dan ketika mendapat kebaikan manusia sangat
kikir.Akan tetapi, tidak demikian halnya dengan orang yang khusyu’ dalam
shalatnya. Itu karena merekalah orang-orang yang mampu berdiri seimbang di
antara gelombang kesedihan yang keras dan dengan luapan kegembiraan yang
tinggi. Dan mereka itulah yang akan senantiasa bersyukur tatkala mendapat
kesenangan dan bersabar tatkala berada dalam kesusahan.
Emosi yang tak terkendali hanya akan
melelahkan, menyakitkan, dan meresahkan diri sendiri. Sebab, ketika marah,
misalnya, maka kemarahan akan meluap dan sulit dikendalikan. Dan itu akan
membuat seluruh tubuhnya gemetar, mudah memaki siapa saja, seluruh isi hatinya tertumpah
ruah, nafasnya tersengal-sengal, dan ia akan cenderung bertindak
sekehendak nafsunya. Adapun saat mengalami kegembiraan, ia menikmatinya
secara berlebihan, mudah lupadiri, dan tak ingat lagi siapa dirinya. Begitulah
manusia, ketika tidak menyukai seseorang, ia cenderung menghardik dan
mencelanya. Akibatnya, seluruh kebaikan orang yang tidak ia sukai itu tampak
lenyap begitu saja. Demikian pula ketika menyukai orang lain, maka orang
itu akan terus dia puja dan sanjung setinggi-tingginya seolah-olah tak ada
cacatnya. Dalam sebuah hadist dikatakan :
“cintailah orang yang engkau cintai
sewajarnya, karena siapa tahu ia akan menjadi musuhmu di lain waktu, dan
bencilah musuhmu itu sewajarnya, karena siapa tahu dia menjadi sahabatmu di
lain waktu”. Dalam sebuah hadist
Rasulullah bersabda,“ Ya Allah saya minta pada-Mu keadilan pada saatmarah
dan lapang dada”.
Barangsiapa mampu menguasai emosinya,
mengendalikan akalnya dan menimbang segalanya dengan benar, maka ia akan
melihat kebenaran, akan tahu jalan yang lurus dan akan menemukan hakekat
kehidupan.
Banyak contoh
disekitar kita membuktikan bahwa orang yang memiliki kecerdasan otak saja,atau banyak memiliki gelar
yang tinggi belum tentu sukses berkiprah di dunia pekerjaan, bahkan sering kali
yang berpendidikan formal lebih rendah ternyata banyak yang lebih berhasil. Kebanyakan program pendidikan
hanya berpusat pada kecerdasan akal (IQ), padahal
yang diperlukan sebenarnya adalah bagaimana mengembangkan
kecerdasan hati, seperti ketangguhan, inisiatif, optimesme, kemampuan
beradaptasi yang kini telah menjadi dasar penilaian baru. Saat itu begitu
banyak orang berpendidikan dan tampak begitu menjanjikan, namun karirnya
mandek. Atau lebih buruk lagi, tersingkir akibat rendahnya kecerdasan hati
mereka. Saya ingin menyampaikan sesuatu hal yang terjadi di Amerika Serikat
tentang kecerdasan emosi. Menurut survey nasional terhadap ada
yang diinginkan oleh pemberi kerja, bahwa keterampilan teknik tidak seberapa penting dibandingkan kemampuan dasar untuk belajar
dalam pekerjaan yang bersangkutan. Di antaranya, adalah kemampuan
mendengarkan dan berkomunikasi lisan, adaptasi, kreatifitas,ketahanan mental
terhadap kegagalan, kepercayaan diri, motivasi, kerjasama tim dan keinginan
untuk memberi kontribusi terhadap perusahaan. Di
tambahkan lagi pendapat seseorang praktisi caliber
internasional, Lenda keegan, salahseorang Vicee
president untuk pengembangan eksekutif citibank disalah satu Negara Eropa menyatakan
bahwa kecerdasan emosi atau EQ harus menjadi
dasar dalam setiap pelatihan manajemen.
Dari hasil test IQ,
kebanyakan orang memiliki IQ tinggi menunjukkan kinerja buruk
dalam pekerjaan,
sementara yang ber-IQ sedang, justru sangat berprestasi. Kemampuan akademik,
nilai rapor predikat kelulusan tinggi tidak bisa menjadi tolok ukur seberapa
baik akan dicapai. Menurut makalah Cleand tahun 1973 “ Testing for
Competence” bahwa seperangkat kecakapan khusus seperti empati, disiplin
diri, dan inisiatif akan menghasilkan orang-orang yang sukses dan bintang
–bintang kinerja. Saat perusahaan raksasa
dunia sudah menyadari akan ini. Mereka menyimpulkan bahwa inti kemampuan
pribadi dan social yang merupakan kunci utama keberhasilan seseorang, adalahkecerdasan
emosi. Sekarang yang menjadi masalah, apakah anda jujur kepada diri anda
sendiri? Seringkah anda tidak memperdulikannya? Menurut hadits yang
diriwayatkan oleh H. R. Muslim, Nabi Muhammad SAW Menyatakan : “ Doa Membuat
Hati Menjadi Gelisah”Inilah kunci dari kecerdasan emosi anda, kejujuran
pada suara hati. Suara hati inilah sebenarnya yang dicari oleh Stephen Covey di dalam bukunya “ The seven Habits Of highly effective People”atau
yang lebih dikenal dengan “THE SEVEN HABITS”
ini yang seharusnya dijadikan sebagai pusat prinsip yang akan memberikan
rasa aman, pedoman, daya dan kebijaksanaan. Menurutnya : “Di sinilah anda
berurusan dengan visi dan nilai anda. Disinilah anda menggunakan anugerah anda,-kesadaran diri (self awareness)
–untuk memeriksa peta anda, dan apabila anda menghargai prinsip-prinsip
yang benar bahwa paradigma anda adalah berdasarkan pada prinsip dan kenyataan,
di sanalah anugerah anda – suara hati – sebagai kompas.“Maka hadapkanlah wajahmu dengan mantap kepada
agama, menurut fitrah allah yang telahmenciptakan fitrah itu pada manusia tiada
dapat diubah (hukum-hukum)” ciptaan Allah.
Dari hasil test IQ,
kebanyakan orang memiliki IQ tinggi menunjukkan kinerja buruk
dalam pekerjaan,
sementara yang ber-IQ sedang, justru sangat berprestasi. Kemampuan akademik,
nilairapor predikat kelulusan tinggi tidak bisa menjadi tolok ukur seberapa
baik akan dicapai.Menurut makalah Cleand tahun 1973 “ Testing for Competence” bahwa
seperangkat kecakapankhusus seperti empati, disiplin diri, dan inisiatif akan
menghasilkan orang-orang yang sukses dan bintang –bintang kinerja.Saat perusahaan raksasa dunia sudah menyadari akan
ini. Mereka menyimpulkan bahwa intikemampuan pribadi dan social yang merupakan
kunci utama keberhasilan seseorang, adalahkecerdasan emosi. Sekarang
yang menjadi masalah, apakah anda jujur kepada diri anda sendiri?Seringkah anda
tidak memperdulikannya? Menurut hadits yang diriwayatkan oleh H. R. Muslim,nabi
Muhammad saw Menyatakan :“ Doa Membuat Hati Menjadi Gelisah”Inilah kunci dari
kecerdasan emosi anda, kejujuran pada suara hati. Suara hati inilah sebenarnyadicari oleh Stephen Covey di dalam bukunya “ The
seven Habits Of highly effective People”atau yang lebih dikenal dengan
“THE SEVEN HABITS” ini yang seharusnya dijadikan sebagai pusat prinsip
yang akan memberikan rasa aman, pedoman, daya dan kebijaksanaan.Menurutnya :
“Di sinilah anda berursan dengan visi dan nilai anda. Disinilah anda
menggunakananugerah anda,-kesadaran diri
(self awareness) –untuk memeriksa peta anda, dan apabila andamenghargai
prinsip-prinsip yang benar bahwa paradigma anda adalah berdasarkan pada
prinsipdan kenyataan, di sanalah anugerah anda – suara hati – sebagai kompas.[3]
“Maka hadapkanlah
wajahmu dengan mantap kepada agama, menurut fitrah allah yang telahmenciptakan fitrah itu pada
manusia tiada dapat diubah (hukum-hukum)” ciptaan Allah. Itulah agama yang
benart, tetapi kebanyakan tiada menyadari. Wallahu a’lam semoga bermamfaat
[1] Al Minhah
ar-Rabbaniyyah Fi Syarhil Arba’in Nawawiyyah hal.161[2] HR.al-Bukhari
no.6116[3] Silsilah al-Manahi asy-Syar’iyyah 4/37[4] Syaikh Bin Baz
rahimahullah menilai hadits ini sanadnya jayyid(http://doktermuslim.wordpress.com/2010/01/26/petunjuk-nabi-dalam-meredam-luapan-emosi/
Komentar
Posting Komentar